Oleh. Hananto Widodo
Ada secercah harapan bagi public dan parpol non parlemen, ketika MK memutuskan mengabulkan permohonan dari Partai Gelora dan Partai Buruh ini. Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dianggap sebagai putusan yang progresif, karena putusan ini berhasil mendobrak kebuntuan demokrasi yang sengaja dibangun oleh parpol besar. Putusan MK ini telah mengembalikan Marwah demokrasi dalam arti yang hakiki.
Pasal 40 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 memang telah membuat batasan terkait dengan hak parpol untuk dapat mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 40 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 menyatakan “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Keberadaan Pasal 40 ayat (3) ini malah membuat iklim demokrasi di daerah menjadi mundur. Pertama adalah terkait batasan bahwa hanya parpol yang memperoleh kursi di DPRD yang boleh mengusung pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kedua, terkait dengan ambang batas (threshold) parpol dalam mengusung pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Batasan terkait hanya parpol yang memiliki kursi di DPRD yang dapat mengusung pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan kemunduran demokrasi, karena sebelum berlakunya UU Pilkada di tahun 2015, syarat parpol yang memiliki kursi di DPRD yang boleh mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak ada.
Kita tentu ingat dengan Pilkada Jatim pada tahun 2013. Pilkada Jatim 2013 diikuti oleh empat pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada waktu itu adalah Pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf yang diusung oleh Demokrat, Golkar, PAN, PKS, Hanura, PPP, Gerindra, Partai Damai Sejahtera, PKNU, Partai Bintang Reformasi serta 22 parpol non parlemen. Pasangan Bambang DH dan Said Abdullah yang diusung oleh PDIP. Pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Herman Surjadi yang diusung oleh PKB dan 5 parpol non parlemen serta pasangan Eggi Sujana dan Muhammad Sihat yang maju melalui jalur perseorangan (Wikipedia).
Dalam kontestasi Pilgub Jatim 2023 terdapat peran dari parpol non parlemen, yakni 22 parpol non parlemen pendukung Soekarwo dan 5 parpol non parlemen yang merupakan pendukung Khofifah. Oleh karena itu, jika hanya parpol yang memiliki kursi di DPRD yang boleh mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dapat dipastikan aturan yang melarang parpol non parlemen untuk dapat mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan bentuk kemunduran demokrasi.
Terkait dengan penurunan ambang batas (threshold) dari parpol untuk dapat mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan suatu Keputusan yang progresif dari MK. Paling tidak ada keuntungan yang akan dirasakan oleh masyarakat jika ambang batas dari parpol untuk mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diturunkan pada angka prosentase yang rasional.
Keuntungan yang akan dirasakan oleh masyarakat adalah pertama, semua parpol lebih berpeluang untuk mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian, pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menjadi lebih banyak, sehingga masyarakat akan memiliki banyak opsi. Kedua, dengan penurunan ambang batas parpol dalam mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bisa untuk mengurangi jumlah pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Daerah Tunggal.
Salah satu alasan maraknya pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan Pasal 54 UU Pilkada adalah terdapat lebih dari satu pasangan Calon, tetapi yang satu pasangan Calon tidak bisa menjadi pasangan Calon karena pasangan Calon tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS). Alasan TMS ini salah satunya adalah karena kurangnya prosentase dukungan dari parpol pengusungnya.
Jika menggunakan rumusan Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada, maka dapat dipastikan akan banyak pasangan Calon yang akan berstatus TMS. Sekarang ini banyak daerah-daerah yang terancam dengan kemungkinan hanya ada satu pasangan Calon yang akan berkontestasi dengan surat suara kosong di daerahnya. Daerah yang kemungkinan akan terdapat pasangan Calon Tunggal adalah DKI Jakarta, Jawa Timur dan Surabaya.
Pada awalnya di DKI Jakarta, yang akan maju sebagai Calon Gubernur adalah Ridwan Kamil, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. PKS dan Nasdem yang awalnya akan mendukung Anies berbelok arah mendukung Ridwan Kamil yang kemudian Ridwan Kamil berpasangan dengan Suswono yang merupakan kader dari PKS. Jika menggunakan tolok ukur Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, maka dapat dipastikan hanya pasangan Ridwan Kamil dan Suswono yang akan menjadi satu-satunya pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Pasangan Ridwan Kamil dan Suswono akan berkontestasi dengan surat suara kosong. Namun dengan lahirnya putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 ini maka peta politik menjadi berubah secara signifikan. Anies dan Ahok yang sudah hilang harapan untuk maju sebagai Calon Gubernur atau Wakil Gubernur, karena hampir semua parpol mendukung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono dengan adanya putusan MK ini, maka harapan mereka untuk bisa maju sebagai Calon Gubernur atau Wakil Gubernur menjadi terbuka lebar.
Apakah fenomena pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tunggal itu tidak baik ? Jawabannya adalah keberadaan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah itu merupakan opsi terakhir jika memang tidak dimungkinkan lagi ada pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diusung oleh parpol. Karena dengan lahirnya putusan MK ini, syarat parpol untuk mengusung pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Daerah menjadi jauh lebih mudah.
*) Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya