"CMS Sync"
banner 728x250

Kampanye Kotak Kosong, Peluang atau Ancaman bagi Demokrasi?

  • Bagikan
banner 468x60

Surabaya, RepublikMaju.com – Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024 mendatang telah memicu perdebatan hangat di masyarakat.

Aktivis Eko Gagak menyoroti maraknya fenomena kotak kosong yang muncul di sejumlah daerah, terutama dalam Pilkada dengan calon tunggal. Fenomena ini dinilai semakin populer dan mengundang beragam persepsi terkait kualitas demokrasi di Indonesia.

Example 300x600

Dalam pernyataannya, Eko Gagak menegaskan bahwa kotak kosong bukan sekadar simbol kekecewaan masyarakat terhadap calon tunggal, melainkan ekspresi politik yang sah dan diakui secara konstitusional.

“Kotak kosong adalah wujud kekecewaan, tapi apakah ini hanya momentum omong kosong karena kantongnya kosong? Pertanyaan mendasar ini perlu dijawab oleh masyarakat dan elite politik,” ujarnya, Jumat (20/9/2024).

Eko juga mempertanyakan, apakah kotak kosong benar-benar merupakan solusi atau hanya celah yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik sempit.

 “Kampanye kotak kosong mungkin terlihat seperti seruan moral, tapi apakah ini tidak menjadi alasan untuk memanfaatkan celah demi kepentingan pribadi, komunitas, atau organisasi tertentu?,”tambahnya.

Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pilkada serentak 2024 akan digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota dengan total anggaran mencapai Rp 28,76 triliun. Namun, persoalan meningkatnya jumlah calon tunggal dalam Pilkada 2024 dianggap menjadi salah satu penyebab utama munculnya kotak kosong. Eko Gagak menyoroti bahwa biaya politik yang mahal menjadi salah satu faktor utama yang menghambat munculnya calon-calon alternatif.

“Elite politik menciptakan skenario ini melalui regulasi dan koalisi politik dengan ambang batas (threshold) yang tinggi. Ini menyulitkan calon-calon kepala daerah yang potensial untuk bersaing. Akhirnya, masyarakat dihadapkan pada pilihan tunggal atau kotak kosong,” katanya.

Menjelang pemungutan suara, Eko mengingatkan bahwa kotak kosong tetap sah untuk dicoblos jika pemilih merasa tidak terwakili oleh calon tunggal.

 “Fenomena kotak kosong ini bukan hal baru, namun menimbulkan pertanyaan mendalam tentang legitimasi dan relevansinya bagi demokrasi,” imbuh Eko.

Eko Gagak juga menyinggung skenario jika kotak kosong memenangkan Pilkada, seperti yang pernah terjadi di Makassar pada 2020.

“Jika kotak kosong menang, Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa kepala daerah akan diisi oleh Penjabat (Pj) hingga Pilkada serentak berikutnya. Tapi, apakah ini solusi jangka panjang yang bisa diterima oleh semua pihak?,” tuturnya.

Menutup pernyataannya, Eko mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh dirampas oleh kepentingan sempit.

“Kotak kosong mungkin menawarkan harapan bagi masyarakat yang kecewa, namun jangan sampai ini menjadi celah untuk kepentingan pribadi yang merugikan masyarakat luas,” pungkasnya.

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *